A. Tata Krama Berpakaian
Dalam Q.S.Al-A’raaf:26 dapat dipahami bahwa fungsi berpakaian itu adalah:
a. Untuk menutup aurat
b. Untuk memperindah jasmani manusia
Aurat adalah bagian tubuh manusia yang tidak boleh dibuka dan dilihat orang lain.Aurat laki-laki dewasa ialah antara pusar dan lutut, sedangkan aurat perempuan ialah seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan.
Dalam Q.S.An Nur : 30-31 yang artinya: ”Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: ”Hendak-lah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka / ayah mereka / ayah suami mereka/ putra-putra mereka / putri-putri suami mereka / saudara-saudara mereka / putra saudara perempuan mereka / wanita-wanita Islam / budak yang mereka miliki / kepada pelayan lelaki yang tidak punya keinginan terhadap wanita / anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.dan janganlah memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.”
Pakaian yang islami adalah pakaian yang dapat menutup aurat.
Dalam Q.S.Al:Ahzab:59 dijelaskan bahwa Allah SWT menyuruh wanita-wanita beriman agar berpakaian,dengan pakaian yang dapat menutup seluruh auratnya. Manfaat pakaian itu selain untuk menunjukkan identitas seorang mukmin,juga agar terhindar
dari gangguan yang tidak diinginkan.
Dalam hadis dari Abi Hurairah yg diriwayatkan oleh Imam Muslim ditegaskan bahwa wanita yang tidak akan masuk surga bahkan tidak dapat mencium baunya surga antara lain yang ber-pakaian tetapi telanjang (karena pakaiannya terlalu minim,terlalu tipis/tembus pandang,terlalu ketat/pakaian yang merangsang pria karena sebagian auratnya terbuka).
Pepatah Jawa mengatakan, ”Ajining sarira gumantung ana ing busana” yang artinya kehormatan badan (jasad) sangat tergantung pada pakaian yang dikenakan.Betapa banyak perzinaan terjadi akibat dari pakaian yang tidak beradab,betapa berpakaian dapat menjadikan seseorang jatuh pada kesombongan.
B. Tata Krama Berhias Diri
Allah SWT berfirman dalam Q.S.Al-A’raaf:31 yang artinya:
“Hai anak Adam, pakaian-pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) Masjid”.
Hadis-hadis Nabi SAW banyak menjelaskan tata krama berhias diri, yaitu :
- Anjuran untuk memotong kuku, memendekkan kumis, menyisir rambut, dan merapikan jenggot (jika berjenggot).
- Anjuran untuk berharum-haruman, dengan wewangian yang menyenangkan hati melegakan dada, menyegarkan jiwa, serta membangkitkan tenaga / gairah kerja.
- Larangan mencukur botak sebagian kepala, dan sebagian lainnya tidak dicukur / dibiarkan tumbuh.
- Larangan berhias diri dengan mengubah apa yang telah
diciptakan Allah SWT misalnya mengeriting rambut, memakai cemara (menyambung rambut), mencukur alis mata,membuat tahi lalat palsu, dan larangan bertato.
- Laki-laki dilarang berhias diri sehingga menyerupai perempuan dan begitu pula sebaliknya.
C. Tata Krama Bertamu
Bertamu adalah berkunjung ke tempat kediaman orang lain karena adanya suatu keperluan. Bertamu dengan maksud yang baik dan dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah SWT serta untuk memperoleh Ridha-Nya dan Rahmat-Nya termasuk kedalam silaturahmi. Silaturahmi sangat dianjurkan oleh agama Islam.
Adapun tata krama dalam bertamu itu adalah :
a. Mempunyai maksud baik yang diridhai Allah SWT misalnya untuk mengurus masalah perdagangan, membicarakan urusan ilmu pengetahuan, dan untuk bersilaturahmi.
b. Menggunakan pakaian yang dapat menutup aurat, sopan, dan berpenampilan Islami.
c. Memperhatikan keadaan orang yang ditamui, usahakan bertamu itu ketika orang yang ditamui dalam keadaan tenggang waktu. Janganlah bertamu apabila orang yang ditamui itu dalam keadaan sibuk,sedang tidur, dan waktu makan, karena apabila seperti itu mungkin dapat mengganggunya dan maksud bertamu tidak akan tercapai dengan baik.
d. Hendaknya bersikap dan bertutur kata yang sopan,sehingga orang yang dikunjungi merasa senang serta menaruh hormat pada tamunya.
e. Jika yang dikunjungi menyajikan makanan kepada tamunya, hendaknya dimakan dan jangan sekali-kali mencela makanan yang disajikan, bahkan lebih baik memujinya.
f. Janganlah berperilaku yang tidak pantas / menyulitkan tuan rumah, misalnya: memesan makanan yang disukai, minta dilayani dalam memenuhi kebutuhannya, dll
g. Dalam bertamu,kalau memang harus menginap, usahakan jangan sampai lebih dari 3 hari. karena dapat mengganggu/ menyulitkan tuan rumah.
D. Tata Krama Menerima Tamu
Adapun cara-cara menghormati tamu itu adalah sebagai berikut :
a. Tuan rumah hendaknya berpakaian sopan dan menutup aurat.
b. Tamu hendaknya diterima dengan rasa syukur dan rasa senang. Kedatangan tamu akan mendatangkan manfaat bagi tuan rumah dan keluarganya.
c. Menerima tamu hendaknya dengan sikap serta perilaku yang baik,dengan wajah yang berseri, dengan tutur kata yang sopan, dan berusaha agar sikap serta tutur katanya tidak menyinggung perasaan tamunya.
d. Tamu hendaknya dijamu, paling tidak disuguhi minuman/ makanan ringan,kalau bertamunya hanya sebentar. Tetapi, kalau tamunya itu menginap, hendaknya tuan rumah menye-diakan keperluan tamunya selama ia menginap.
Tuan rumah hendaknya menyiapkan dan menyediakan keperluan tamunya sebaik mungkin terutama pada hari pertama, kedua, dan ketiga. Namun, kalau tamu itu bertamunya lebih dari tiga hari, tetap saja tuan rumah harus bersikap baik dan ramah, hal itu termasuk sedekah.
E. Tata Krama Memberi Salam
Salam dalam Islam berbeda dengan ucapan, ”selamat pagi”, ”selamat siang”, ”good morning”, atau ucapan salam lainnya. Salam adalah doa tulus yang mampu membuat orang terjaga, baik fisik, batin maupun akidahnya.
Mengucapkan salam itu hukumnya wajib.Namun demikian,yang lebih dahulu mengucapkan salam ternyata lebih dicintai Allah SWT .Sebaliknya, menjawab salam adalah wajib hukumnya. Akan tetapi, bila salam diucapkan dimuka orang banyak, maka hukumnya fardhu kifayah, cukup satu orang saja yang menjawab dalam satu jamaah.
Riwayat ini bersumber dari Ahmad dan Baihaqi.
Sangat dianjurkan kepada orang yang memulai mengucapkan salam, menggunakan lafadz, ”Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”. Sedang bagi yang mendapat salam seyogyanya mengucapkan, ”Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh”.
Inilah lafadz salam yang paling utama,sebagaimana dalam hadits yg bersumber dari Imran bin Hushain, ”Seseorang datang kepada Nabi dan mengucapkan ”Assalamu’alaikum”. maka Rasul menjawabnya dan orang tersebut kemudian duduk. Nabi berkata, ”Sepuluh” (sepuluh pahala). Kemudian datang lagi orang lain dan mengucapkan, ”Assalamu’alaikum wa rahmatullah”. maka Rasulullah menjawabnya. kemudian orang tersebut duduk. Kemudian Rasulullah berkata, ”Dua puluh”. Kemudian datang lagi orang lain dan meng-ucapkan, ”Assalamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh”. Maka Rasul menjawabnya, dan orang itu kemudian duduk. Kemudian Rasul berkata, ”Tiga puluh.” (Riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Allah berfirman dalam Q.S.An-Nisa:86, ”Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik/balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.”
Dalam sebuah hadits Muslim, Abu Hurairah r.a. berkata, ”Rasulullah saw bersabda: ”Demi Dzat yang jiwaku ditangan-Nya. Demi Allah. Kamu tidak akan masuk surga sehingga kamu beriman, dan kamu akan beriman sehingga kamu saling cinta kasih. Maukah kamu saya tunjukkan kepada sesuatu yang jika kamu kerjakan maka kamu saling bercinta kasih? Tebarkanlah salam diantara kamu.”
Dalam memberikan salam,kita harus memperhatikan hal-hal berikut :
a) Hindari ucapan, ”Alaikumus salam”.
“Karena sesungguhnya ucapan “alaikas salam” itu adalah salam untuk orang-orang yang telah mati.” (Riwayat Abu Daud dan At-Tirmidzi,dishahihkan oleh Al-Albani).
b) Jangan memberi salam kepada orang yang sedang di WC (buang hajat).
Karena hadits Ibnu Umar menyebutkan, ”Bahwasanya ada seseorang yang lewat sedangkan Rasulullah SAW sedang buang air kecil, dan orang itu memberi salam. Maka Nabi tidak menjawabnya.” (Riwayat Muslim).
c) Tidak memulai memberikan salam kepada Ahlu Kitab,
Sebab Rasulullah bersabda, ”Janganlah kalian terlebih dahulu memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani…..” (Riwayat Muslim).
Manakala orang-orang Yahudi dan Nasrani memberi salam maka kita jawab dengan mengucapkan, ”wa’alaikum”saja, sebagaimana sabda Rasulullah, ”Apabila Ahlu Kitab memberi salam kepada kamu, maka jawablah: wa ‘alaikum”. (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
d) Dilarang memberi salam dengan isyarat kecuali ada uzur, seperti karena sedang shalat/bisu/karena orang yang akan diberi salam itu jauh jaraknya.
Di dalam hadits Jabir bin Abdillah,Rasulullah SAW bersabda, ”Janganlah kalian memberi salam seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena sesungguhnya pemberian salam mereka memakai isyarat dengan tangan.” (Riwayat Al-Baihaqi dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
e) Haram hukumnya membungkukkan tubuh/sujud ketika memberi penghormatan.
Disinyalir dalam sebuah hadits yang bersumber dari Anas menyebutkan, ”Ada seorang lelaki berkata, ”Wahai Rasulullah kalau salah seorang dari kami berjumpa dengan temannya, apakah ia harus membungkukkan tubuhnya kepada-nya?” Nabi Muhammad SAW menjawab, ”Tidak.” Orang itu ber tanya, ”Apakah ia merangkul dan menciumnya? Jawab Nabi, ”Tidak.” Orang itu bertanya lagi, ”Apakah ia berjabat tangan dengannya?” Jawab Nabi, ”Ya, Jika ia mau.” (Riwayat At-Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
f) Dianjurkan mengucapkan salam 3 kali jika khalayak yang kita jumpai banyak jumlahnya.
Dalam sebuah hadits yang berasal dari Anas disebutkan bahwa Nabi apabila ia mengucapkan suatu kalimat, ia meng-ulanginya 3 kali. dan apabila ia datang kepada suatu kaum, ia memberi salam kepada mereka 3 kali. (Riwayat Al-Bukhari).
Demikian juga jika seseorang mengucapkan salam dan menyangka bahwa salamnya tidak terdengar orang lain,maka ketika itu disunahkan untuk mengulangnya sebanyak 2 atau 3 kali, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya, ketika memberi komentar tentang hadits diatas.
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah disebutkan, ”Bahwa termasuk sunnah adalah orang yang mengendarai kendaraan memberikan salam terlebih dahulu kepada orang yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki kepada yang duduk, orang yang sedikit kepada yang banyak,dan orang yang lebih muda kepada yang lebih tua”.
g) Disunnahkan memberi salam disaat masuk kedalam rumah sekalipun rumah itu kosong,karena Allah SWT telah ber-firman dalam Q.S.An-Nur:61, “Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya salam yang ditetapkan dari sisi Allah SWT, yang diberkati lagi baik.”
Dan juga Ibnu Umar suatu kali pernah menyatakan,
“Apabila seseorang akan masuk ke suatu rumah yang tidak berpenghuni,maka hendaklah ia mengucapkan, ”Assalamu’alaina wa’ala ibadillahis shalihin.” (Riwayat Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad,dan dishahihkan oleh Al-Albani).
h) Disunnahkan menjawab salam orang yang menyampaikan/ menitipkan salam lewat orang lain.
Pada suatu ketika seorang lelaki mendatangi Rasulullah lalu berkata, ”Sesungguhnya ayahku menyampaikan salam untukmu. ”Maka Nabi menjawab, “Alaika wa ala abikas salam.”
i) Disunnahkan memberikan salam di waktu masuk ke suatu majlis dan ketika akan meninggalkannya.
Karena hadits menyebutkan: ”Apabila salah seorang kamu sampai di suatu majlis hendaklah memberikan salam. Dan apabila hendak keluar, hendaklah memberikan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak daripada yang kedua.” (Riwayat Abu Daud dan di shahihkan oleh Al-Albani).
j) Disunnahkan memberi salam kepada orang yang kamu kenal/ pun tidak.
Suatu kali ada seseorang yang bertanya kepada Nabi, ”Islam yang manakah yang paling baik? Jawab Nabi, ”Engkau memberikan makanan dan memberi salam kepada orang yang telah dan belum kamu kenal.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
k) Disunnahkan pula memberi salam kepada anak-anak, Karena hadits yang bersumber dari Anas menyebutkan, ”Bahwasanya ketika ia lewat di sekitar anak-anak ia memberi salam, dan ia mengatakan, ”Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
F. Tata Krama Menuntut Ilmu
Rasulullah berkata, ”Wahai Qabishah,apa yang menyebabkan kamu datang kemari? Aku menjawab: ”Umurku sudah tua dan tulang-tulangku sudah rapuh, maka aku datang kepadamu agar engkau mengajari aku tentang sesuatu yang Allah Ta’ala memberi kemanfaatan kepadaku. Rasulullah saw bersabda:Wahai Qabishah!, kamu tidak melewati batu, pohon, tanah (dalam menuntut ilmu), kecuali (semuanya) memohon kan ampunan kepadamu.”
Orang yang menuntut ilmu akan mendapat pahala,karena berusaha untuk menghilangkan kebodohan dan ketidaktahuan dirinya,terutama menuntut ilmu yang berkaitan dengan aqidah dan hukum-hukum Allah.Bila sudah mengetahuinya maka dengan sendirinya akan tahu tata cara beribadah, bermu’amalah, dan ber-taqarrub kepada Allah Swt.
Dalam menuntut ilmu yang tidak boleh dilupakan adalah mengatur niat. Jangan sampai dalam menuntut ilmu hanya untuk mencari keduniaan semata.Bila ini yang dicari maka akan mengalami kerugian besar,sebab ilmunya itu tidak dapat menyelamatkan dari api neraka. Hanya keduniaanlah yang diperoleh,itupun kalau berhasil. Jika tidak,maka akan mengalami kerugian didunia maupun diakhirat.
Oleh sebab itu,hendaknya memperhatikan niat dalam menuntut ilmu supaya tidak mengalami kerugian.Adapun niatnya adalah :
a) Untuk mencari ridha Allah Swt
Karena ridha Allah yang dicari maka dengan sendirinya akan lebih berhati-hati dan menjauhi segala bentuk kemungkaran dan kemaksiatan,baik dari tingkah laku maupun perkataan.
b) Untuk menghilangkan kebodohan
Kaum muslimin diwajibkan untuk menuntut ilmu guna menghilangkan kebodohannya,agar amal ibadah yang dijalankan itu sesuai dengan tuntunan yang digariskan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya,tidak ngawur,dan asal-asalan dalam beribadah.
c) Tidak bertujuan untuk menonjolkan diri dihadapan orang lain.
Maksudnya, tidak mempunyai tujuan untuk mencari popularitas dihadapan orang lain,apalagi untuk memikat perhatian seseorang agar bersimpati/mengumpulkan harta duniawi semata.Sebab yang demikian itu berarti meruntuhkan agama,menjatuhkan harga diri dan menjual pahala akhirat yang abadi dengan kehidupan dunia yang fana.
d) Tidak untuk mencari keduniaan atau kedudukan.
Orang yang belajar hanya untuk mencari keduniaan atau kedudukan semata akan mengalami kerugian besar, karena terimbas oleh kedurhakaan dalam menuntut ilmu. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah saw :
“Barang siapa yang membatu dalam kedurhakaan walaupun hanya sepatah kata, ia termasuk turut andil didalamnya”.
e) Untuk diamalkan
Besar dosanya orang yang menuntut ilmu setelah pandai dan mengetahui berbagai hal yang berkaitan dengan hukum, akhlaq, ketauhidan, tata cara ibadah dan pengetahuan lainnya, tetapi ilmunya itu tidak diamalkan. Berarti tujuan belajar hanya untuk kebanggaan diri dan kesombongan.
Jika dalam hati masih terdapat rasa enggan untuk mengamalkan ilmu yang jelas-jelas merupakan suatu hidayah, maka perlu diwaspadai bahwa semangat dalam menuntut ilmu itu hanyalah dorongan nafsu yang terus menerus mempengaruhi dirinya untuk menuruti bujukan setan,agar terjerumus dalam kehancuran.
Rasulullah Saw bersabda, ”Barang siapa makin bertambah ilmunya dan tidak bertambah hidayahnya,maka ia akan makin jauh dari Allah.”
Dari Ali r.a. berkata, ”Barang siapa sedang mencari ilmu, maka sebenarnya ia sedang mencari surga.Dan barang siapa mencari kemaksiatan,maka sebenarnya dia sedang mencari neraka.”
Ketahuilah!, sungguh celaka orang bodoh yang tidak mau mencari ilmu. Dan sungguh durhaka orang berilmu yang tidak mau mengamalkan ilmunya. Mereka ini akan mendapat siksaan yang amat pedih di sisi Allah Swt.
Referensi :
Syamsuri. 2004. Pendidikan Agama Islam SMA. Jakarta : Erlangga
Azzam, Abu A. 2006. Cara Mudah Raih Kasih. Jakarta : Elfata.
Sulistyanto, Heri, Ir. 2004. Pendidikan Agama Islam SMA. Surakarta : CV.Teguh Karya.
GS, Fitriani. 2006.Wasiat Rasulullah SAW. Jakarta : Pustaka Indonesia.
Solihin, I, Drs. 2006.Terjemah Nashaibul Ibad. Jakarta : Pustaka Amani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar