Malam itu, bulan bersinar terang dilangit. Bintang-bintang bertaburan. Subhanallah, alangkah indahnya. Seorang lelaki bernama Karim keluar dari rumahnya. Dulu, Karim dikenal gemar melakukan perbuatan yang dilarang agama. Namun, kini dia telah insyaf dan bertaubat. Sekarang, dia rajin shalat berjamaah dimasjid. Dia juga tidak merasa malu untuk ikut mengaji dan belajar membaca Al-Qur’an, bersama anak-anak yang lebih muda usianya.
Malam itu, setelah mendengar penjelasan dari imam masjid tentang keutamaan shadaqah atau sedekah, hati Karim tergerak. Imam masjib menjelaskan, jika seseorang memiliki uang Rp.1000 dan ia menyedekahkannya Rp.300, maka yang Rp.30 itulah yan akan kekal dan dapat dinikmati di akhirat. Sedangkan yang Rp.700 tidak membuahkan apa-apa. Bahkan, uang Rp.30 yang disedekahkan, akan dilipatgandakan oleh Allah Swt sebanyak tujuh ratus kali. Sedekah juga membuat harta dan rezeki yang ada, menjadi penuh berkah.
Selama ini, Karim dikenal kaya dan kikir. Namun, sejak insyaf dan taubat, dia telah berniat akan mengorbankan segala yang dimilikinya untuk memperoleh ridha Allah Swt. Sebagian hartanya telah dia rencanakan untuk disedekahkan dan diinfakkan di jalan Allah Swt.
Dia mengarahkan langkahnya menuju ke suatu rumah. Dia telah menyiapkan kantong berisi Rp.100.000 untuk disedekahkan. Begitu sampai dirumah yang ditujunya, dia mengetuk pintu. Seorang lelaki berkumis tebal muncul dari dalam ruma. Setelah mengucapkan salam, dia memberikan kantong itu pada pemilik rumah, lalu mohon pamit. Kejadian itu ternyata diketahui oleh beberapa orang penduduk daerah itu.
Pagi harinya, orang-orang dipasar ramai membicarakan apa yang dilakukan Karim tadi malam.
Dua orang yang melihat Karim bersedekah berkata dengan nada mengejek, ”Dasar orang tidak tahu agama, sedekah saja keliru, masak sedekah kok kepada seorang pencuri. Kalau mau sedekah itu, ya harusnya kepada orang yang baik-baik!”
Obrolan orang dipasar itu sampai juga ke telinga Karim, ia hanya berkata dalam hati, ”Alhamdulillah, saya telah bersedekah kepada pencuri!”
* * *
Hari berikutnya, ketika malam tiba, dia kembali keluar rumah. Dia ingin kembali bersedekah. Sama seperti malam sebelumnya, dia menyiapkan uang Rp.100.000. Kali ini, dia memilih sebuah rumah dipinggir kota. Dia mengetuk pintu rumah itu. Seorang wanita membukakannya. Dia langsung menyerahkan sedekahnya pada perempuan itu lalu pulang.
Pagi harinya, pasar kembali ribut. Ternyata, ada orang yang mengetahui perbuatannya tadi malam.
Orang itu bercerita sinis, ”Memang, Karim itu tidak jelas. Rajin pergi ke masjid, tetapi memberi sedekah saja masih salah. Kemarin malam, dia memberi sedekah kepada seorang pencuri. Lha, tadi malam, dia memberi sedekah kepada seorang pelacur!”
Perbincangan orang dipasar itu sampai juga ke telinganya.
Karim hanya berkata lirih, ”Alhamdulillah, saya telah bersedekah kepada seorang pelacur!”
* * *
Malam harinya, Karim kembali keluar rumah untuk sedekah. Dia memilih rumah yang ada didekat pasar. Setelah mengantarkan sedekahnya, dia pulang. Kali ini Karim berharap, dia tidak keliru memberikan sedekahnya.
Pagi harinya, pasar lebih ribut dari sebelumnya.
Seorang penjual daging berkata, ”Nggak tahulah! Karim itu memang aneh. Mau sedekah saja kok kepada orang kaya. Padahal, orang yang miskin dan memerlukan uang untuk makan, masih banyak dan ada dimana-mana!”
Ternyata, rumah yang didatangi Karim dan diberi sedekah tadi malam adalah rumah orang kaya.
Mendengar berita dan omongan yang ada dipasar tentang kekeliruannya memberikan sedekah, ia berkata, ”Alhamdulillah, saya telah bersedekah kepada pencuri, pelacur, dan orang kaya!”
Malam harinya, ia shalat tahajud, lalu tidur.
Dalam tidurnya dia bermimpi didatangi oleh seseorang yang memberi kabar kepadanya, ”Sedekahmu kepada pencuri, membuat pencuri itu insyaf, sehingga dia kini tidak mencuri lagi. Sedekahmu kepada pelacur, membuat wanita itu taubat dan tidak berzina lagi, dan sedekahmu kepada orang kaya, menjadikan orang kaya itu sadar dan merasa malu. Kini, orang kaya yang pelit itu mau mengeluarkan zakat dan infak. Sedekahmu yang ikhlas itu diridhai Allah Swt.
Setelah itu, Karim semakin khusyuk beribadah dan banyak mengerjakan kebajikan. Dia sadar bahwa yang paling penting dalam ibadah adalah niat karena Allah. Bukan sekedar mengikuti perkataan orang banyak. Hanya Allah-lah yang berhak menilai, diterima atau tidaknya amal ibadah seseorang.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar